. >>>

15 Juli 2009
Dibaca :

Sifat ke-AKU-an dalam masyarakat kita

Senin pagi aku berangkat kota kelahiranku di Sidikalang untuk menghadiri undangan pernikahan seorang teman lama. Sore harinya aku pulang kembali ke kota Medan.

Untuk perjalanan yang menempuh waktu 4 jam tersebut sengaja aku memilih menumpang angkutan CV. PAS Transport setelah pada perjalanan paginya menumpangi PO. DATRA. Aku berpikir angkutan PAS yang kata orang dengan armadanya lebih baru memberikan pelayanan dan kenyamanan lebih. Tetapi dalam perjalan pulang itu aku melihat bahwa semua angkutan antar kota L-300 Medan-Sidikalang itu sama saja. Pengemudi selalu mengebut dan menyetir dengan semaunya seolah tidak peduli dengan keadaan jalan terutama di sepanjang Lae-Pondom (perbatasan DAIRI-KARO) yang berlobang-lobang membuat pinggang serasa mau patah.

Aku berfikir apabila semua supir begini maka umur kenderaan baru tersebut tidak akan panjang sehingga hanya menjadi beban kepada pemilik/toke. Sepanjang perjalanan beberapa kali serasa jantung hampir copot oleh karena kenderaan yang kami tumpangi nyaris tabrakan ”laga Kambing” dengan kenderaan lain. Salah satu kebiasaan buruk supir trayek Medan-Sidikalang adalah hobbi membunyikan klakson, baik ketika berpapasan dengan teman ataupun ketika bermaksud menyalip kenderaan lain. Sang supir selalu berupaya melampaui kenderaan lain dengan membunyikan klakson, seolah hanya dia sendiri yang berada dalam angkutan itu dan hanya dia sendiri yang perlu didahulukan. Kebiasaan lain adalah membunyikan musik dengan subwoofer dan suara bass yang mendengung mengeluarkan suara keras memekakkan telinga. Bisakah anda membayangankan bagaimana rasanya di ruangan bising dengan musik yang tidak anda sukai.

Bukan hanya pengemudi, beberapa penumpang juga kerap berbuat semaunya. Selama perjalanan aroma durian dan kotoran ayam bercampur dalam kenderaan tersebut. Setelah aku ingat-ingat ternyata benar sebelum berangkat ada sepasang orangtua yang menenteng 2 buah durian. Tetapi soal ayam aku tidak mengira telah ada penumpang lain yang menyusupkan ke bagasi sebelum semua penumpang naik ke dalam kenderaan. Apabila tahu sebelumnya, maka aku akan memilih untuk tidak menaiki kenderan tersebut. Pada kesempatan lain beberapa penumpang menghisap dan mengepulkan rokoknya. Jadi kini sudah bercampur 3 aroma yang menyengat dalam ruangan itu. Aku mengira aku sudah fly dan pingsan beberapa kali ketika tersadar dari kantuk aku. Tetapi kemudian aku memutuskan untuk menutup mata kembali karena ulah sepasang muda-mudi yang duduk disamping aku. Berpelukan, ketawa-ketiwi, colek mencolek, bahkan pada satu lirikan, pernah mata aku menangkap mereka sedang ”kissing” dengan ganasnya. Makjang.. tidak bisakah mereka menunda yang begituan di tempat lain? atau aku yang bersalah sudah membuka mataku?

Pukul 22.15 kenderaan yang kutumpangi memasuki perbatasan kota Medan hatiku bersorak gembira. Aku masih hidup !
Setelah melihat ada angkutan kota aku langsung bilang, ” Minggir, bang Supir”.
Aku turun dan berjalan kaki sejauh 500 meter, bukannya “sok jago” tetapi ini adalah upayaku untuk melatih engsel kaki dan merelaksasi ”pantat” yang sudah kebas dipaksa duduk 4 jam lamanya. Disebuah warung nasi aku makan malam dan beristirahat menikmati ke-aku-an dan kebebasanku. Pukul 23.00 aku menyetop angkot dan pulang ke rumah menemui keluargaku tercinta. [*]





Share





Artikel Lainnya

2 komentar:

none mengatakan...

wah,,unik juga ya kebiasaannya bang. nggak cuma di medan kok, di palembang juga gitu.hehehe

Joojo mengatakan...

wew..bner tuh kt mb henny..gag cuma di medan aj yang kyak gitu...di palembang juga...apalagi tuh bus kotanya...weeeeekkk mw modar rasanya denger musik gag jelas kyak gtu,,,,,,(tpi gag semua kok cuma kebanyakan aja kwkwkwk)
salam knal n hangat
-joni-
thanz dah mampir

Posting Komentar