
Anjing ini sedang melakukan senam relaksasi dibawah terik matahari. Tindakan yang cukup hewani. Apakah kita manusia sudah cukup manusiawi dengan diri kita sendiri? Selamat Tahun Baru 2010.[*]
Sebagai orang yang berkecimpung dalam pembiayaan kredit UMKM, kami menemukan permasalahan di lapangan bahwa umumnya masyarakat kita kesulitan memenuhi persyaratan administrasi dalam hal kelengkapan bukti pembayaran PBB/ Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT).
Bagi pihak bank sebenarnya SPPT PBB ini hanya data pendukung dalam pencatatan dan pembentukan laporan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) apabila kredit yang diberikan terhadap nasabah tersebut mengalami tunggakan atau NPL. Sehingga diharapkan nilai agunan yang tertera dalam NJOP akan menjadi faktor pengurang terhadap pembentukan PPAP oleh bank. Meskipun memang sampai saat ini masih terjadi perdebatan antara beberapa bank (khususnya BPR) dengan Bank Indonesia sebagai regulator dalam hal ini ketentuan mengenai pembentukan PPAP.
Alangkah naifnya ketika aset tanah dan bangunan di lokasi strategis yang menurut ukuran harga pasar seharga Rp.100 juta ternyata dalam NJOP tertulis hanya Rp. 17juta, jauh dibawah harga pasar. Kalau dirunut ke belakang factor tidak rasionalnya NJOP ini ada dua kemungkinan. Di satu sisi masyarakat kita memang sengaja tidak mau melaporkan harta kekayaannya untuk menghindari pembayaran pajak yang lebih tinggi. Disisi lain informasi yang kita peroleh dari masyarakat setempat untuk daerah tertentu terjadi kecenderungan penurunan NJOP oleh pihak perpajakan dalam rangka mengantisipasi kompensasi ganti rugi yang lebih besar apabila tanah/lokasi tersebut suatu saat terkena pembebasan lahan. Penentuan Nilai agunan berdasarkan NJOP tentunya menimbulkan keberatan bagi bank dalam penghitungan PPAP-nya.
Permasalahan lain adalah masih banyaknya penduduk pemilik tanah dan bangunan yang sama sekali tidak terdaftar atau tidak memiliki SPPT. Sehingga ketika berurusan ke bank terkendala persyaratan administrasi. Mungkin memang masyarakat tidak akan pernah mau mengurus pajaknya kalau tidak bermaksud berurusan ke Bank ataupun mengurus birokrasi ke pemerintah setempat. Di sisi lain bank dituntut untuk ekspansi sampai ke sector mikro.
Kami telah berupaya mengatasi permasalah ini dengan menawarkan bantuan kepada calon debitur yang dinilai layak (menurut prinsip5C) untuk mendaftarkan tanah/bangunan ke kantor pajak. Tetapi kecenderungan yang kita hadapi adalah masih sulitnya memperoleh surat pengantar dari Lurah/ Kepala Desa setempat untuk melengkapi persyaratan ke kantor Pajak. Banyak wilayah yang sebenarnya telah dikutip PBB nya oleh Kepala Desa/ Lurah setempat dengan memberikan kwitansi pembayaran sementara yang dikeluarkan oleh Kades. Namun setelah kita telusuri ke kantor pajak dana pembayaran pajak sementara ini umumnya tidak sampai ke kantor pajak. Ada kecenderungan pola seperti ini dipelihara oleh aparatur desa. Karena apabila setiap wajib pajak telah terbit SPPT PBB maka pembayaran pajak akan langsung ke kantor pajak atau melalu kantor Pos setempat sehingga peluang untuk “ bermain” di tingkat desa menjadi sulit.
Setelah mengurus ke kantor pajak ternyata prosesnya pendaftaran dan penerbitan SPPT PBB ini sangat lama. Menurut ketentuan normalnya cukup 2 minggu, tetapi praktek di lapangan bisa memakan waktu berbulan-bulan. Alasan klasik yang disampaikan pihak kantor pajak adalah terbatasnya SDM untuk melakukan proses dan pemeriksaan lapangan.
Selain juga permasalahan banyaknya SPPT PBB yang ganda, sebenarnya masih banyak persoalan-persoalan pajak yang membingungkan masyarakat. Sampai kapan kondisi ini akan terjadi? Mengingat pajak adalah salah satu sumber pendapatan terbesar negara untuk membiayai pembangunan. Ini bagaimana ? Rakyat mau membayar ke negara kog malah sepertinya dipersulit? Persoalan SPPT PBB ini seharusnya menjadi perhatian pemerintah. Saya berpikir tidak cukup hanya himbauan melalui iklan di media massa, tetapi aparatur pajak harus proaktif jemput bola melakukan sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat. [*]
Selengkapnya...
Penelitian yg dilakukan oleh sosiolog di Universitas Maryland menyatakan bahwa orang-orang yg susah cenderung nonton acara televisi lebih banyak, sementara mereka yg terbilang bahagia cenderung menghabiskan waktu mereka untuk membaca dan bersosialisasi.
Penelitian ini dilakukan selama 30 tahun terhadap 30.000 orang dewasa dalam serangkaian survei tentang perilaku sosial. Para peneliti tersebut melaporkan bahwa menghabiskan waktu untuk menonton televisi bisa menimbulkan kebagiaan selama sesaat bagi seseorang, namun hanya sedikit saja dampak positif untuk jangka panjang.
John P. Robinson, salah satu pakar sosiolog mengatakan, “Televisi tidaklah mampu membuat seseorang merasa bahagia atau terpuaskan dalam jangka panjang sebagaimana yg bisa didapatkan dari membaca buku dan berinteraksi dg orang2. Data yg ditemukan menunjukkan bahwa kebiasaan menonton televisi memberikan kesenangan jangka-pendek namun perasaan sakit (perasaan) atau tak nyaman dalam jangka panjang. Menonton televisi adl aktivitas pasif dan bisa memberikan tempat untuk melarikan diri semisal dalam kondisi krisis ekonomi. ” Berdasarkan data yg didapat, Robinson memproyeksikan bahwa aktivitas menonton televisi akan meningkat secara drastis sejalan dg kondisi perekonomian yg diperkirakan memburuk dalam beberapa bulan atau tahun ke depan.
Para peneliti juga menemukan bahwa orang2 yg merasa dirinya bahagia memiliki aktivitas sosial yg lebih tinggi, menghadiri acara2 sosial dan keagamaan lebih sering, dan juga membaca buku, majalah atau koran. Orang yg mengaku tidak bahagia sebenarnya juga melakukan hal itu, namun mereka menonton televisi 20 persen lebih banyak ketimbang membaca dan bersosialisasi.
Data responden menyatakan bahwa menonton televisi memang aktivitas yg lebih mudah dilakukan ketimbang bersosialisasi. Orang yg menonton televisi tidak perlu pergi ke manapun, ya tinggal duduk aja di depan tivi, dia juga tidak perlu repot ganti baju dan berdandan, mencari teman untuk membarengi, mbikin rencana dan janjian, mengeluarkan tenaga dan uang, pokoknya gampang. Dengan ditambah efek kesenangan seketika yg bisa didapat dg menonton televisi, maka bisa dipahami jika kebanyakan orang (di Amerika) menghabiskan lebih dari separuh waktu luang mereka untuk menonton televisi.
Berbeda dg orang2 yg bahagia, orang2 yg sengsara juga cenderung merasa bingung bagaimana memanfaatkan waktu luang mereka dan di sisi lain juga merasa diburu-buru oleh waktu. Orang yg menonton televisi karena tak punya alternatif aktivitas yg lebih bermanfaat akhirnya akan sedemikian terlarut hingga kemudian dia baru menyadari betapa banyak waktu yg telah dihabiskan untuknya.
Punya banyak atau cukup waktu luang, tapi tak tahu bagaimana memanfaatkan, itu dia masalahnya.
Padahal pemuasan sesaat dg televisi ini bisa menimbulkan efek kecanduan. Steve Martin, peneliti dari Universitas Maryland mengatakan, “Dan efek kecanduan ini tentunya menghasilkan kesenangan sementara namun penyesalan dalam jangka panjang. Mereka yg sudah terkena kecanduan televisi akhirnya akan kurang diuntungkan baik secara pribadi maupun kehidupan sosialnya.”
Sumber: University of Maryland
Selengkapnya...
Duarr..
Bunyi petasan tepat di atas rumah menyentak jantungku.
Teringat tahun 2000.
Saat itu siang hari masih jam perkuliahan, di kampus FE USU, seorang mahasiswa senior meletupkan petasan di bawah tangga- tempat nongkrong sekelompok mahasiswa.
Temanku berteriak. " Woi, dasar mahasiswa tak punya otak kau, main petasan pulak kau disini !"
Segera terjadi perang mulut yang memicu perkelahian. Berlanjut saling ejek dan saling memaki, lalu tawuran antar mahasiswa 2 jurusan meledak seketika hari itu juga. Aku terlibat karena naluri mudaku membela teman se-jurusanku.
Untung saja saat itu satpam kampus bertindak cepat, sehingga tidak sampai terjadi tikam-tikaman dan bakar-bakaran.
Dalam 1 bulan dendam antar mahasiswa yang terlibat tawuran pun baru bisa mereda setelah dimediasi oleh Bapak Dekan dan Pemerintahan Mahasiswa (PEMA).
Kalau saja tidak mengingat kejadian itu..mungkin malam ini aku sudah berkelahi (lagi).
Aku heran,
Kenapa masyarakat kita suka berlebihan merayakan sesuatu?
Dan mengapa permainan petasan ini sering justeru dilakukan oleh orang dewasa?
Dan mengapa pula harus egois tidak memikirkan kenyamanan orang lain?
Tidakkkah kita bisa melihat dan mendengar bahwa di sana, di Palestina dan Israel banyak umat yang merindukan ketenangan seperti yang kita miliki saat ini.
Tidakkah kita gerah ketika Legian Bali dan JW Marriot meledak?
Lalu mengapa kita harus memancing peperangan dengan mengusik ketenangan sang malam ? [*]
Selengkapnya...